Rabu, 17 Juni 2020

Puasa Bersama Bapak part_8


Part_8



“Assalamu”alaikum...,” salam terdengar dari balik pintu.

Rian berlari kecil menuju pintu untuk mempersilahkan Dul dan kedua orangtuanya masuk. Tak biasanya mereka bertiga datang bersamaan di rumahnya. Biasanya hanya Dul sendirian yang mengantar makanan untuk ia dan bapak berbuka, atau Bude Ani yang ke rumahnya ketika Dul sedang bermain bersamanya.

“Malah bengong Rian?”

Dul melambaikan tangannya di depan wajah Rian yang terkejut melihat mereka bertiga sore itu. Andi dan Ani langsung masuk ke dalam untuk menata makanan yang telah mereka bawa ke rumah itu di meja panjang tanpa alas itu. Mereka telah membawa perlengkapan makan yang cukup untuk makan berlima.

“Bapak mana Rian?” Hasan menuju ruang belakang rumah mencari Hasan yang tidak dilihatnya di dapur ketika ia mencium aroma sedap dari dapur mungil itu.

“Hmmmmm, ada aroma sayur yang biasa dimasak Emak, sedap sekali Rian,” Ani berkata sambil menuju dapur, ia seolah kembali ke masa saat Emak masih berada di rumah itu. Dibukanya penutup kuali yang masih terlihat kepulan asap dari dalamnya, hingga aroma yang ia rindukan makin mengusik rasa rindu kebersamaan dengan Emak dan Abah. Matanya sedikit berembun ketika tangannya mulai mengangkat kuali dan memindahkan isinya ke dalam mangkuk sayur yang ada di dekat perapian.

“Ini kamu yang masak Rian?” Ani bertanya saat meletakkan semangkuk sayur ke meja.

“Bapak yang masak itu Bude, Rian mana bisa masak sayur dengan bumbu-bumbu begitu,” terang Rian yang membuat Ani terlihat mengerutkan dahinya seolah ada yang ia pikirkan tentang apa yang Rian katakan itu.

“Hasan yang membuat sayur ini,” lirih kata yang ia ucapkan, seolah ia belum yakin dengan apa yang didengarnya dari Rian. Ia pun menyusul Andi mencari Hasan yang tak ada di dapur.

Dilihatnya Andi dan Hasan sedang memandang kolam ikan di belakang rumah. “Mas Andi, Hasan, ayo masuk, sebentar lagi waktunya berbuka,” Ani memanggil keduanya yang terlihat masih asyik dengan pikiran masing-masing. Ani melihat wajah Hasan yang tak lagi datar, ada pancaran harapan untuk ia bisa kembali seperti saat dulu.

“Ayo San kita masuk dulu, sebentar lagi adzan maghrib,” Andi menarik tangan Hasan perlahan membawanya masuk ke rumah. Di meja telah tertata menu buka puasa yang terlihat istemewa. Sayur daun singkong, tempe goreng, dan sambal buatan Hasan, dan menu yang diawa Ani yakni telor balado, kerupuk, kolak pisang serta tak lupa singkong yang dimasak dengan gula merah buatan Rian.

“Tumben Dul, Pakde sama Bude mau berbuka di sini?” tanya Rian ketika ia dan Dul asyik di dapur menyiapkan minuman.

“Aku juga nggak tahu Rian, sepertinya Ibu ingin melihat perkembangan Lek Hasan yang kata kamu sudah mulai membaik.

Dari dapur Dul dan Rian membawa nampan berisi teh hangat. Minuman yang selalu menjadi pembuka untuk Andi, Ani, dan Hasan itu tak lupa selalu menemani di saat berbuka puasa. Tentu hanya membuat tiga gelas teh saja, karena keduanya tak menyukai teh. Lima gelas yang lain berisi air putih untuk mereka bersama.

Ani terlihat sibuk menata kolak ke dalam mangkuk-mangkuk kecil sambil sesekali ia memperhatikan Hasan yang duduk di seberang bangku. Ia tersenyum pada sahabat dan saudaranya itu sambil menyerahkan mangkuk berisi kolak kepadanya.

Setelah menikmati kolak pisang, mereka melaksanakan shalat magrib terlebih dahulu sebelum menyantap menu di meja itu. Hasan mengikuti semua yang dilakukan sore itu, mengikuti gerakan shalat dengan tertib. Ia tak lagi hanya berdiam di samping Rian seperti biasanya.

“Ini benar-benar sedap San, persis seperti masakan Emak,” Andi terlihat sangat menikmati sayur daun singkong itu hingga ia telah dua kali menambahkan ke dalam piringnya.

“Ternyata kamu mewarisi bakat memasak Emak San,” Ani pun tak lupa memuji kepiawaian Hasan memasak sayur. Memang dulu Hasan sering membantu Emak memasak ketika ia di rumah. Emak yang dikenal warga pandai meamasak aneka masakan sering dimintai tolong tetangga ketika mereka punya hajat. Tak hanya aneka olahan lauk dan sayur, namun berbagai makanan tradisional seperti rempeyek, rengginang, nagasari pun Emak jagonya.

Rupanya Hasan mewarisi bakat Emak dalam memasak, Ani baru tahu sekarang, meski dulu Emak pernah bilang kalau Hasan sering memasak untuk Abah dan dirinya ketika Emak sedang diminta tetangga masak di rumah mereka. Ani juga pernah mendengar Suci sering meminta Hasan memasak saat ia sedang mengandung dulu. Suci tak mau makan ketika ia tak mendapati masakan yang dibuat suaminya itu. “Pantas saja kalau Suci ngidam masakan Hasan,” bisik hati Ani sambil tersenyum.

“Ibu kok senyum-senyum sendiri,” Dul heran melihat ibunya makan sambil tersenyum.

“Ibu ingat Emak sama Abah,” Ani menyembunyikan apa yang ia sedang pikirkan saat itu.

Malam yang begitu hangat terasa di gubug kecil itu, sehangat hati Rian yang kian bersinar melihat binar harapan di wajah Bapak. Tak putus do’a untuk Mbah Kakung dan Mbah Putri ia panjatkan, dan tentu do’a untuk Bapak. Pinta terbaik untuk kesembuhan Bapak, menjadi satu-satunya orang yang ia miliki di rumah kecil itu. Harapan bersama do’a-do’a pada pemilik semesta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koneksi Antar Materi 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

  COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK A.       Paradigma Berfikir Coaching 1.        Paradigma berpikir yang pertama adalah fokus pada  co...