Part_8
“Assalamu”alaikum...,”
salam terdengar dari balik pintu.
Rian
berlari kecil menuju pintu untuk mempersilahkan Dul dan kedua orangtuanya
masuk. Tak biasanya mereka bertiga datang bersamaan di rumahnya. Biasanya hanya
Dul sendirian yang mengantar makanan untuk ia dan bapak berbuka, atau Bude Ani
yang ke rumahnya ketika Dul sedang bermain bersamanya.
“Malah
bengong Rian?”
Dul
melambaikan tangannya di depan wajah Rian yang terkejut melihat mereka bertiga
sore itu. Andi dan Ani langsung masuk ke dalam untuk menata makanan yang telah
mereka bawa ke rumah itu di meja panjang tanpa alas itu. Mereka telah membawa
perlengkapan makan yang cukup untuk makan berlima.
“Bapak
mana Rian?” Hasan menuju ruang belakang rumah mencari Hasan yang tidak
dilihatnya di dapur ketika ia mencium aroma sedap dari dapur mungil itu.
“Hmmmmm,
ada aroma sayur yang biasa dimasak Emak, sedap sekali Rian,” Ani berkata sambil
menuju dapur, ia seolah kembali ke masa saat Emak masih berada di rumah itu.
Dibukanya penutup kuali yang masih terlihat kepulan asap dari dalamnya, hingga
aroma yang ia rindukan makin mengusik rasa rindu kebersamaan dengan Emak dan
Abah. Matanya sedikit berembun ketika tangannya mulai mengangkat kuali dan memindahkan
isinya ke dalam mangkuk sayur yang ada di dekat perapian.
“Ini
kamu yang masak Rian?” Ani bertanya saat meletakkan semangkuk sayur ke meja.
“Bapak
yang masak itu Bude, Rian mana bisa masak sayur dengan bumbu-bumbu begitu,”
terang Rian yang membuat Ani terlihat mengerutkan dahinya seolah ada yang ia
pikirkan tentang apa yang Rian katakan itu.
“Hasan
yang membuat sayur ini,” lirih kata yang ia ucapkan, seolah ia belum yakin
dengan apa yang didengarnya dari Rian. Ia pun menyusul Andi mencari Hasan yang
tak ada di dapur.
Dilihatnya
Andi dan Hasan sedang memandang kolam ikan di belakang rumah. “Mas Andi, Hasan,
ayo masuk, sebentar lagi waktunya berbuka,” Ani memanggil keduanya yang
terlihat masih asyik dengan pikiran masing-masing. Ani melihat wajah Hasan yang
tak lagi datar, ada pancaran harapan untuk ia bisa kembali seperti saat dulu.
“Ayo
San kita masuk dulu, sebentar lagi adzan maghrib,” Andi menarik tangan Hasan
perlahan membawanya masuk ke rumah. Di meja telah tertata menu buka puasa yang
terlihat istemewa. Sayur daun singkong, tempe goreng, dan sambal buatan Hasan,
dan menu yang diawa Ani yakni telor balado, kerupuk, kolak pisang serta tak
lupa singkong yang dimasak dengan gula merah buatan Rian.
“Tumben
Dul, Pakde sama Bude mau berbuka di sini?” tanya Rian ketika ia dan Dul asyik
di dapur menyiapkan minuman.
“Aku
juga nggak tahu Rian, sepertinya Ibu ingin melihat perkembangan Lek Hasan yang
kata kamu sudah mulai membaik.
Dari
dapur Dul dan Rian membawa nampan berisi teh hangat. Minuman yang selalu
menjadi pembuka untuk Andi, Ani, dan Hasan itu tak lupa selalu menemani di saat
berbuka puasa. Tentu hanya membuat tiga gelas teh saja, karena keduanya tak
menyukai teh. Lima gelas yang lain berisi air putih untuk mereka bersama.
Ani
terlihat sibuk menata kolak ke dalam mangkuk-mangkuk kecil sambil sesekali ia
memperhatikan Hasan yang duduk di seberang bangku. Ia tersenyum pada sahabat
dan saudaranya itu sambil menyerahkan mangkuk berisi kolak kepadanya.
Setelah
menikmati kolak pisang, mereka melaksanakan shalat magrib terlebih dahulu
sebelum menyantap menu di meja itu. Hasan mengikuti semua yang dilakukan sore
itu, mengikuti gerakan shalat dengan tertib. Ia tak lagi hanya berdiam di
samping Rian seperti biasanya.
“Ini
benar-benar sedap San, persis seperti masakan Emak,” Andi terlihat sangat
menikmati sayur daun singkong itu hingga ia telah dua kali menambahkan ke dalam
piringnya.
“Ternyata
kamu mewarisi bakat memasak Emak San,” Ani pun tak lupa memuji kepiawaian Hasan
memasak sayur. Memang dulu Hasan sering membantu Emak memasak ketika ia di
rumah. Emak yang dikenal warga pandai meamasak aneka masakan sering dimintai
tolong tetangga ketika mereka punya hajat. Tak hanya aneka olahan lauk dan
sayur, namun berbagai makanan tradisional seperti rempeyek, rengginang,
nagasari pun Emak jagonya.
Rupanya
Hasan mewarisi bakat Emak dalam memasak, Ani baru tahu sekarang, meski dulu
Emak pernah bilang kalau Hasan sering memasak untuk Abah dan dirinya ketika
Emak sedang diminta tetangga masak di rumah mereka. Ani juga pernah mendengar
Suci sering meminta Hasan memasak saat ia sedang mengandung dulu. Suci tak mau
makan ketika ia tak mendapati masakan yang dibuat suaminya itu. “Pantas saja
kalau Suci ngidam masakan Hasan,” bisik hati Ani sambil tersenyum.
“Ibu
kok senyum-senyum sendiri,” Dul heran melihat ibunya makan sambil tersenyum.
“Ibu
ingat Emak sama Abah,” Ani menyembunyikan apa yang ia sedang pikirkan saat itu.
Malam
yang begitu hangat terasa di gubug kecil itu, sehangat hati Rian yang kian
bersinar melihat binar harapan di wajah Bapak. Tak putus do’a untuk Mbah Kakung
dan Mbah Putri ia panjatkan, dan tentu do’a untuk Bapak. Pinta terbaik untuk
kesembuhan Bapak, menjadi satu-satunya orang yang ia miliki di rumah kecil itu.
Harapan bersama do’a-do’a pada pemilik semesta.