Pak
Andi yang tak lain adalah ayah Dul tengah duduk santai di beranda rumah ketika
Dul dan Rian hendak mencarinya. Bangku panjang terbuat dari kayu jati di sana
memang sangat nyaman disinggahi di kala sedang bersantai. Semilir angin membuat
suasana makin sejuk hingga mengantar Dul sering tertidur siang di sana. Kedua
bocah itu mendekati dan duduk di bangku yang lain di seberang bangku yang
diduduki Pak Andi.
“Pak.....Dul
sama Rian boleh tanya sesuatu?”ragu terdengar dari suara lirihnya.
“Sini...kalian
dekat Bapak,”yang ditanya justru meminta keduanya mendekat.
“Kok
tumben kalian sudah di rumah?”diperhatikannya mereka berdua penuh selidik.
Memang
tidak biasanya Dul dan Rian bermain di dalam rumah, mereka terbiasa
menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya di sungai atau di halaman
masjid. Tak heran jika keberadaan mereka di rumah jadi tanda tanya untuk ayah
Dul.
Keduanya
hanya tertawa mendengar pertanyaan itu. Saling pandang diantara keduanya untuk
siapa yang akan mengatakan apa yang mereka inginkan.
“Hmmmm
Pak.....Rian mau tanya tentang gambar di buku ini,”kembali Dul dengan gemetar
berkata.
Ia menunjuk
album lama yang berada di tangan Rian. Terlihat wajah ayah Dul berkerut
pertanda ia sedang mengingat sesuatu. Diraihnya album itu dari tangan Rian. Satu
per satu kembali ia membuka dan memperhatikan gambar-gambar yang ada di
dalamnya.
“Rian....
mungkin sudah saatnya Pakdhe membuka semua ini,”Andi membuka halaman yang
berisi gambar yang hendak Rian ketahui.
“Panggilkan
Budhe mu sana,”Andi meminta Rian memanggil Ibunya Dul.
“Ada
apa Pak...kok tumben kumpul-kumpul di sini,”Ani yang belum mengetahui maksud
suaminya bertanya-tanya.
Andi
menunjukkan gambar dalam foto yang dipegangnya. Ani terlihat menarik nafas nya
lebih dalam. Ada rasa yang sulit untuk diterjemahkan oleh Dul dan Rian melihat kedua
orangtua di depan mereka.
“Ini
adalah Suci.....,”Ani menunjuk gambar wanita diantara Hasan dan Mbah Putri.
“Dia
adalah ibumu Rian....,”kalimat yang menggantung seolah masih ada hal yang
hendak Budhe Ani sampaikan pada Rian.
Rian
masih terdiam memperhatikan gambar itu. Entah kenapa ia sama sekali tak
mengingat wajahnya jika memang ia adalah ibunya.
“Mengapa
Rian tidak bisa mengingatnya Budhe?”
“Kamu
dibawa Hasan ke rumah Mbah Putri semenjak belum genap satu tahun,”Budhe Ani
melanjutkan ceritanya.
Sepenggal
cerita itu menambah Rian makin tak memahami apa yang terjadi saat ia masih kecil.
“Hasan....Bapakmu
itu orang yang baik, dia dulu menjadi teladan bagi remaja di sini, banyak
gadis-gadis teman Budhe yang mengangumi Bapakmu itu,”Ani seolah kembali
mengingat masa remajanya.
Ia
dan Hasan memang seusia, mereka saudara sepupu. Maka tak heran jika ia sangat
mengenal sosok yang biasa Rain panggil Bapak itu. Perhatian Budhe Ani pun
sangat besar kepada mereka berdua. Ia selalu memastikan keduanya memiliki
makanan dan Rian tidak merasa kesepian.
“Kamu
masih ingat kapan Bapak tidak mau bicara?”Andi bertanya pada Rian yang
tenggelam dengan lamunannya.
“Semenjak
Mbah Putri meninggal Pakdhe”
Meski
sebelum itu Hasan pun tak bisa diajak komunikasi dengan baik oleh orang-orang
di sekitarnya, namun Rian masih bisa mendengar suara Bapaknya. Ia akan
berteriak keras dengan tiba-tiba, dan mengurung diri di kamar sambil terus
menangis. Rian akan menjauh dari Bapak saat seperti itu, berlari ke rumah Budhe
Ani dan ia akan menangis mengadukan kondisi bapaknya.
Mbah
Putri akan membujuk Bapak hingga ia membuka pintu kamar dan terlihat sangat
kelelahan. Dan pasti ia akan mencari Rian kembali, digendongnya ia pulang. Rian
masih ingat ucapan Bapak saat menggendongnya, “maafkan Bapak ya, Bapak sayang
Rian”. Selalu itu yang Bapak katakan padanya. Sikap Bapak yang selalu berubah
membuat Rian kadang ketakutan, namun ia tetap menunggu Bapak menjemputnya dari
rumah Budhe Ani.
Sepertinya saya harus baca part.1.dan seterusnya nih
BalasHapusWaah...lanjutan ceritanya bikin penasaran saja Bunda...
BalasHapusnice short story
BalasHapusNgisi waktu saat menjelang masak....pendek2 saja ceritanya...
BalasHapusKISAH INSPIRATIF YG MENYENTUH HATI
BalasHapus