Sabtu, 16 Mei 2020

Puasa Bersaama Bapak_part7


“Kenapa Budhe?” Rian menunggu Budhe Ani yang sedari tadi terdiam.

Ia terkejut mendengar Rian bertanya, rupanya bayangan masa yang silam itu masih melekat dalam benaknya. Dipandanginya wajah Rian yang kini telah beranjak remaja. Kulit yang terlihat tetap bersih meski ia sering main di sawah diwarisi dari Suci ibunya. “Suci....lihatlah putramu kini....,” bisik hatinya berucap.

“Rian pulang dulu sana....Bapak pasti sudah menunggu,”Andi mengingatkan Rian ketika matahari telah condong ke barat. Rupanya mereka telah mengahabiskan siang itu menyelami masa yang telah lewat. Sepenggal kisah yang tetap menyisakan tanda tanya di benak Rian.

“Album foto itu jangan dibawa pulang ya...biar disimpan di kamar Dul saja,”Ani meraihnya dari tangan Rian.

“Rian juga jangan cerita tentang masa lalu Bapak dulu....,”sambungnya.

“Apakah ini yang menyebabkan Bapak sakit Budhe?”

Ani hanya menganggukkan kepala menjawab tanya dari Rian. Tak hanya Hasan yang sakit karena masa itu, Abah yang sangat terpukul dengan kembalinya Hasan dengan surat perpisahan itu. Sakit di hati itu menggerogoti raganya yang kian renta, hingga ia harus meninggalkan Emak tak sampai setahun setelah Hasan kembali.

“Bantu Emak ya Ani...Andi..,”pinta Emak sesaat setelah Abah dikebumikan. Emak adalah ibu bagi Ani dan Andi. Kepadanya Ani selalu mengadu saat ia sedang sedih, kesal ataupun bahagia. Wanita tangguh yang dengan sabar mendampingi Hasan saat ia tak lagi bisa mengendalikan diri. Mengasuh Rian dan menjadi penerang di tengah rumah mungil di tepi sawah.

Kalau tak ada Emak, mungkin penduduk akan membawa Hasan ke rumah sakit jiwa. Meski tak setiap saat ia bersikap tak wajar, namun kekhawatiran akan keselamatan Emak dan Rian menjadikan warga tak ingin membiarkannya berada di rumah.

“Hasan anak yang baik Pak Lurah, Emak percaya ia tidak akan menyakiti keluarganya, biarkan dia tetap bersama saya dan anaknya,”pinta Emak ketika Kepala Desa mewakili warga meminta Emak merelakan Hasan dibawa untuk penyembuhan di rumah sakit.

Emak selalu yakin bahwa anaknya akan kembali seperti dulu kala. Seorang laki-laki yang baik dan perhatian dengan dirinya. Jalan hidupnya saja yang memang harus melewati masa yang sulit dalam pernikahannya. Jiwa mudanya belum siap menerima kenyataan pahit diantara harapan indahya.

Dan kini setelah Emak tak lagi bersama Hasan, Rian pun tetap menemani Bapak dengan sabar. Ia memiliki jiwa yang kuat dan sabar seperti Mbah Putri nya itu.

Tawaran untuk menjadi anak angkat berulangkali ia tolak dengan kata-kata polosnya. “Rian ingin hidup dengan Bapak, jangan bawa Bapak pergi,”jawaban Rian kecil sepeninggal Emak.

Hampir tiga tahun Rian telah menjalani hidup hanya dengan Bapak di rumah mungil itu. Masa yang membuat ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tak pernah putus harapan menanti Bapak kembali.

“Bapak....Rian pulang,”ia bergegas mencari Bapak di belakang rumah ketika ditengoknya rumah sepi.

Benar saja, Bapak sedang membersihkan rumput-rumput di kebun belakang rumah. Melihat Rian mendekatinya ia berhenti dari kesibukannya itu. Meski masih tanpa kata, namun Rian melihat binar yang berbeda di wajah Bapak. Ia tak lagi berwajah dingin, ada harapan dalam sorot mata di depannya.

“Rupanya Bapak telah memanen pisang dan singkong...daunnya sekalian buat sayur ya,”Rian membantu Bapak memetik daun-daun singkong yang ranum itu. “Nanti Bapak yang bikin bumbunya ya, Rian nggak bisa kalau masak daun singkong..nah Rian bagian merebus singkong atau menggoreng saja,”sambil mencuci sayuran ia terus mengajak Bapak berbicara. Tak ia pedulikan kapan Bapak akan menjawabnya. Bapak selalu memahami apa yang ia katakan setiap hari. Bapak memang tak berbicara, namun ia melakukan apa yang diucapkannya.

Keduanya kini asyik memasak di dapur, dengan cekatan Rian menyiapkan semua bumbu-bumbu yang hendak dihaluskan oleh Bapak. Ia pun menyalakan kayu bakar dalam tungku yang di atasnya telah ada kuali berisi singkong hasil panen tadi. Bapak menyodorkan sepiring gula merah yang telah diiris kepadanya. “Ini dimasukkan juga ke kuali ya Pak?”tanya yang dijawab dengan anggukan. “Ini namanya apa pak? Kalau kolak kan pakai santan kelapa, lha ini cuma pakai gula merah,”Rian terus berbicara sambil mengaduk-aduk masakannya biar tidak gosong.  

“Oh iya...dulu Mbah Putri juga sering masak begini ya Pak, tapi Rian nggak tahu namanya juga, malah Rian makannya habis dua mangkok.”

“Rian mandi dulu ya Pak...ini sudah matang, tinggal Bapak yang masak sayurnya,”Rian meninggalkan Bapak menuju kamar mandi.


3 komentar:

Koneksi Antar Materi 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

  COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK A.       Paradigma Berfikir Coaching 1.        Paradigma berpikir yang pertama adalah fokus pada  co...