“Kenapa
Budhe?” Rian menunggu Budhe Ani yang sedari tadi terdiam.
Ia
terkejut mendengar Rian bertanya, rupanya bayangan masa yang silam itu masih
melekat dalam benaknya. Dipandanginya wajah Rian yang kini telah beranjak remaja.
Kulit yang terlihat tetap bersih meski ia sering main di sawah diwarisi dari
Suci ibunya. “Suci....lihatlah putramu kini....,” bisik hatinya berucap.
“Rian
pulang dulu sana....Bapak pasti sudah menunggu,”Andi mengingatkan Rian ketika
matahari telah condong ke barat. Rupanya mereka telah mengahabiskan siang itu
menyelami masa yang telah lewat. Sepenggal kisah yang tetap menyisakan tanda
tanya di benak Rian.
“Album
foto itu jangan dibawa pulang ya...biar disimpan di kamar Dul saja,”Ani
meraihnya dari tangan Rian.
“Rian
juga jangan cerita tentang masa lalu Bapak dulu....,”sambungnya.
“Apakah
ini yang menyebabkan Bapak sakit Budhe?”
Ani
hanya menganggukkan kepala menjawab tanya dari Rian. Tak hanya Hasan yang sakit
karena masa itu, Abah yang sangat terpukul dengan kembalinya Hasan dengan surat
perpisahan itu. Sakit di hati itu menggerogoti raganya yang kian renta, hingga
ia harus meninggalkan Emak tak sampai setahun setelah Hasan kembali.
“Bantu
Emak ya Ani...Andi..,”pinta Emak sesaat setelah Abah dikebumikan. Emak adalah
ibu bagi Ani dan Andi. Kepadanya Ani selalu mengadu saat ia sedang sedih, kesal
ataupun bahagia. Wanita tangguh yang dengan sabar mendampingi Hasan saat ia tak
lagi bisa mengendalikan diri. Mengasuh Rian dan menjadi penerang di tengah
rumah mungil di tepi sawah.
Kalau
tak ada Emak, mungkin penduduk akan membawa Hasan ke rumah sakit jiwa. Meski tak
setiap saat ia bersikap tak wajar, namun kekhawatiran akan keselamatan Emak dan
Rian menjadikan warga tak ingin membiarkannya berada di rumah.
“Hasan
anak yang baik Pak Lurah, Emak percaya ia tidak akan menyakiti keluarganya,
biarkan dia tetap bersama saya dan anaknya,”pinta Emak ketika Kepala Desa
mewakili warga meminta Emak merelakan Hasan dibawa untuk penyembuhan di rumah
sakit.
Emak
selalu yakin bahwa anaknya akan kembali seperti dulu kala. Seorang laki-laki
yang baik dan perhatian dengan dirinya. Jalan hidupnya saja yang memang harus
melewati masa yang sulit dalam pernikahannya. Jiwa mudanya belum siap menerima
kenyataan pahit diantara harapan indahya.
Dan
kini setelah Emak tak lagi bersama Hasan, Rian pun tetap menemani Bapak dengan
sabar. Ia memiliki jiwa yang kuat dan sabar seperti Mbah Putri nya itu.
Tawaran
untuk menjadi anak angkat berulangkali ia tolak dengan kata-kata polosnya. “Rian
ingin hidup dengan Bapak, jangan bawa Bapak pergi,”jawaban Rian kecil
sepeninggal Emak.
Hampir
tiga tahun Rian telah menjalani hidup hanya dengan Bapak di rumah mungil itu. Masa
yang membuat ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tak pernah putus harapan
menanti Bapak kembali.
“Bapak....Rian
pulang,”ia bergegas mencari Bapak di belakang rumah ketika ditengoknya rumah
sepi.
Benar
saja, Bapak sedang membersihkan rumput-rumput di kebun belakang rumah. Melihat Rian
mendekatinya ia berhenti dari kesibukannya itu. Meski masih tanpa kata, namun
Rian melihat binar yang berbeda di wajah Bapak. Ia tak lagi berwajah dingin,
ada harapan dalam sorot mata di depannya.
“Rupanya
Bapak telah memanen pisang dan singkong...daunnya sekalian buat sayur ya,”Rian
membantu Bapak memetik daun-daun singkong yang ranum itu. “Nanti Bapak yang
bikin bumbunya ya, Rian nggak bisa kalau masak daun singkong..nah Rian bagian
merebus singkong atau menggoreng saja,”sambil mencuci sayuran ia terus mengajak
Bapak berbicara. Tak ia pedulikan kapan Bapak akan menjawabnya. Bapak selalu
memahami apa yang ia katakan setiap hari. Bapak memang tak berbicara, namun ia
melakukan apa yang diucapkannya.
Keduanya
kini asyik memasak di dapur, dengan cekatan Rian menyiapkan semua bumbu-bumbu
yang hendak dihaluskan oleh Bapak. Ia pun menyalakan kayu bakar dalam tungku
yang di atasnya telah ada kuali berisi singkong hasil panen tadi. Bapak menyodorkan
sepiring gula merah yang telah diiris kepadanya. “Ini dimasukkan juga ke kuali
ya Pak?”tanya yang dijawab dengan anggukan. “Ini namanya apa pak? Kalau kolak
kan pakai santan kelapa, lha ini cuma pakai gula merah,”Rian terus berbicara
sambil mengaduk-aduk masakannya biar tidak gosong.
“Oh
iya...dulu Mbah Putri juga sering masak begini ya Pak, tapi Rian nggak tahu
namanya juga, malah Rian makannya habis dua mangkok.”
“Rian
mandi dulu ya Pak...ini sudah matang, tinggal Bapak yang masak sayurnya,”Rian
meninggalkan Bapak menuju kamar mandi.
Terharu..
BalasHapusLanjut...
HapusLuar biasa buu
BalasHapus