Matahari
belum juga menampakkan sinarnya ketika Ani tengah membersihkan halaman rumahnya.
Semburat warna jingga terlihat indah menghiasi langit di ufuk timur.
Gumpalan-gumpalan awan pun tak luput dari semburat sinar sang mentari. Perlahan
kilau sinar menerobos sela-sela dedaunan di musim kemarau. Meski hari masih
pagi, sebagian besar warga desa telah berada di sawah dan ladangnya. Bulan
puasa tak menghalangi aktivitas mereka untuk merawat tanaman yang sebagian
besar berupa sayur mayur di sawah.
Usai
menyapu halaman dan merapikan tanaman hias, Ani menyiapkan keranjang belanja
yang akan dibawa Dul dan ayahnya ke pasar.
“Sebelum
ke pasar, kamu ke rumah Rian dulu,”
“Rian
diajak ke pasar Bu?”
“Bukan
begitu, tapi bilang sama Rian untuk membawa bapaknya jalan-jalan ke sungai atau
ke sawah agar Ibu bisa membereskan kamar Emak,”
Dul
langsung berlari menuju rumah Rian setelah Ibunya selesai berkata. Riang
hatinya membuat langkah kakinya makin ringan, tak sabar ia ikut bapaknya ke
pasar di hari-hari terakhir ramadan itu. Terbayang di benaknya riuhnya pasar
dengan banyaknya pengunjung yang akan membeli keperluan di hari raya. Dul juga
telah melihat daftar belanja yang akan dibeli keluarganya. Ia telah
membayangkan untuk mengenakan baju baru yang sama dengan Rian di hari raya
nanti. Ibunya selalu membelikan baju dengan model yang sama dengan Rian untuk
mereka berdua. Meski mereka bukan saudara kandung, namun terlihat sangat dekat
bagai saudara kembar.
“Lihat
itu Pak, sebentar lagi kita akan panen kacang,” Rian menunjuk ke arah tanaman
yang merambat di batang-batang bambu yang menopang tumbuhan merambat itu.
Tamanam yang berada seolah memagari rimbunnya tamanam cabai itu telah
memperlihatkan buahnya yang panjang-panjang menjuntai. Sebagian telah terlihat
siap untuk dipanen. Sambil berjalan menyusuri kebun cabai, mereka sesekali
berjongkok untuk membersihkan rumput liar yang berada di antara tanaman
sayuran.
Sawah
itu milik keluarga Rian, dulu Mbah Putri sering membawa Rian saat bekerja di
sawah. Sepeninggal sang nenek sawah itu dikelola oleh Andi dan Ani, Dul dan
Rian pun terbiasa membantu pekerjaan di sawah.
Rian
melihat bapaknya duduk di bawah pohon pepaya sambil memandang hamparan sawah.
Ia perhatikan raut wajah bapaknya yang seolah-olah sedang ada sesuatu yang ia
pikirkan. “Apakah mungkin bapak mengingat masa lalunya,” bisik hati Rian.
Matahari
kian meninggi, sinarnya yang kian terasa panas menyengat mengingatkan Rian
bahwa pagi telah berganti siang. Ia beranjak dan segera menghampiri bapak untuk
diajaknya pulang. “Pasti Bude Ani telah selesai merapikan kamar Mbah,” lirih
kalimat yang ia ucapkan ketika mendekati Hasan. Mereka kembali menyusuri
pematang sawah untuk kembali ke rumah. Berjalan sambil menyipitkan mata oleh
silaunya cahaya mentari di siang hari hingga Rian kadang berlari untuk
mempercepat langkah kakinya.
Sesampainya
di rumah, ia pun segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Rumahnya
terlihat lebih rapi dan bersih, rupanya Bude Ani membersihkan seluruh rumah
itu, tak hanya kamar Emak. Ruang depan terlihat lebih hidup dengan adanya dua
botol bekas berisi potongan batang mawar serta beberapa batang lainnya
menghiasai meja.
Direbahkan
badannya di atas bangku panjang itu sambil menikmati semilir angin yang masuk
melalui pintu yang sengaja dibuka. Suasana yang nyaman itu membuat Rian tak
lama tertidur pulas. Hasan menghampiri sang putra dan menyelimuti tubuhnya
dengan kain sarung yang ia bawa dari kamar. Hasan kembali ke kamar dan terlihat
di pundaknya kasur yang hendak ia jemur. Tak lupa semua bantal pun ia jemur
pula. Ia duduk di dekat pintu sambil sesekali memukul-mukul kasur serta membaliknya.
Hasan
meninggalkan aktivitasnya itu ketika suara adzan sayup-sayup terdengar.
Membersihkan diri dan kini ia terlihat khusyu menunaikan kewajiban kepada Sang
Pencipta. Tak ia dengar salam dari Dul yang datang ke rumah mereka. Dul tanpa
menunggu jawaban tuan rumah masuk untuk mencari Rian. Ia tak memperhatikan
bangku di ruang depan, mencari di kamar hingga dapur dan kamar mandi. Ia
melihat ada yang sedang menunaikan salat di ruang ibadah itu. Awalnya ia
mengira Rian yang sedang berada di sana, namun setelah ia perhatikan ternyata
ayah Rian.
Pelan
ia meninggalkan ruang itu hendak pulang, namun langkahnya terhenti ketika ia
menyadari Rian tidur di ruang depan. Ia mencoba membangunkan sahabatnya itu.
“Rian bangun, sudah salat dhuhur belum?” sambil menggoyangkan tubuh Rian ia
memanggil-manggil namanya. Rian pun mulai menggeliatkan tubuhnya, matanya mulai
terbuka dan tersenyum melihat ada Dul di rumahnya.
“Kamu
itu tidur kaya kebo, sulit sekali dibangunkan,” Dul menggerutu.
Rian
hanya tertawa mendengar gerutu sahabatnya. Ia melangkahkan kakinya ke belakang
dan meninggalkan Dul yang masih menggerutu. Tidur siangnya benar-benar pulas,
hingga tak terasa dua jam telah ia habiskan di alam mimpi.
Bersama
Dul, Rian mengangkat kasur dan bantal serta menatanya kembali. Mereka pun asyik
menikmati suasana sore itu sambil membaca dan bercanda sampai waktu asar pun
telah tiba. Tanpa menunggu lama mereka pun segera menunaikan salat asar berdua.
Selesai salat asar, Dul pun menceritakan apa yang
tadi dilihatnya saat baru datang ke rumah tadi kepada Rian.
“Rian..,
tadi kulihat Lek Hasan salat dhuhur, khusyu’ banget sampai tak mendengar aku
datang.”
Rian
pun mengingat kejadian waktu mereka berada di sawah tadi pagi.
“Sepertinya
Bapak sudah mulai mengingat apa yang terjadi,” Rian bergumam lirih. Rian
tersenyum mendengar semua itu, terasa ada segumpal es menyejukkan hatinya.
Tubuhnya terasa segar, ia melangkah keluar kamar bersama Dul untuk mencari bapaknya.
Rupanya Hasan saat itu sedang berada salat asar di ruang tempat ibadah keluarga
mereka. Terlihat ia sudah menyelesaikan salatnya, namun tak juga ia beranjak
dari duduknya. Rian dan Dul bisa melihat guncangan tubuh yang terisak lirih
dalam doa yang sedang dipanjatkannya itu.
“Bapak..,”
Rian menyentuh pundak Bapak dengan pelan.
“R
i a n,” suara yang lama ia rindukan terdengar lirih. Hasan memeluk putranya
sambil tiada henti menangis.
“Maafkan
Bapak,” hanya kalimat itu yang selalu diucapkan Hasan.
Dul
meninggalkan keduanya, ia hendak mengabarkan berita bahagia itu kepada kedua orangtuanya.
Cakep bund
BalasHapusSupersekali ceritanya
BalasHapusSip..ibuk..
BalasHapusBagus ..super..tungh kelanjutannya
BalasHapusTunggu lanjutannya...
BalasHapus