Rabu, 22 Juli 2020

Puasa Bersama Bapak_part12


Part_12


Motor berwarna oranye meninggalkan halaman rumah Andi setelah menyerahkan amplop yang dibawanya. Andi dan Ani penasaran dengan isi amplop yang mereka terima siang itu. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki saudara yang tinggal di luar kota dan selama ini komunikasi mereka lakukan dengan saling berkunjung satu sama lain. Kabar dari siapa dan berita apa yang akan mereka terima dari sepucuk surat beramplop coklat di tangan itu membawa mereka segera membaca nama di balik amplop.

“Tidak ada nama terangnya Mas,” Ani kembali mengamati tulisan yang tertulis di amplop di tangannya. Ia hanya menemukan tulisan: Pengirim dengan nama “Sahabatmu”
“Ini perangko dari Malaysia Dik,” Andi menunjuk ke arah perangko yang tertempel di amplop. Rupanya surat itu dikirim dari seseorang yang saat ini tinggal di negara tetangga. Mereka semakin penasaran dengan si pengirim surat, perlahan mereka membuka amplop itu.

“Aku sepertinya hafal dengan tulisan ini Mas,” Ani berkata setelah melihat goresan pena dari surat di tangannya. Ia sangat mengenal tulisan tangan itu, tulisan yang rapi milik sahabat yang dulu begitu akrab dengannya. Seseorang yang juga menjadi bagian dari keluarga besarnya, namun juga seseorang yang menorehkan luka di benak semua keluarga besarnya.

“Suci...,” Andi menyebut nama itu sambil memandang ke arah sang istri. Ia ingin memastikan kebenaran dugaan yang ada dalam pikirannya. Anggukan kepala Ani membenarkannya. Mereka kemudian masuk ke rumah untuk membaca isi surat tersebut.
“Aku tahu An, begitu besar salahku pada keluarga besarmu. Terlebih pada Mas Hasan, Emak, dan Abah. Maafkan aku An, mohonkan maaf kepada seluruh keluargamu, aku mohon Ani, Andi...bantu aku.”
“Ijinkan aku bertemu anakku, aku tak pernah tahu bagaimana kabarnya, aku tak bisa berbuat apapun, aku memang bodoh dan tak berani menentang ayahku.”

Penggalan kalimat yang tertulis dalam surat yang dibacanya, Suci mengabarkan akan kepulangannya sebulan lagi. Ia meminta untuk dapat bertemu dengan Rian, putra yang semenjak bayi telah ditinggalkannya bersama Hasan.
Andi dan Ani saling terdiam, pikiran mereka mengembara ke masa-masa sulit yang dijalani keluarga Hasan. Mereka berdua menjadi saksi perihnya kehidupan yang dijalani Abah dan Emak karena perubahan sikap Hasan semenjak berpisah dengan Suci. Mereka juga yang turut mengasuh Rian hingga kini beranjak remaja. Keduanya turut terluka dengan perlakuan keluarga Suci yang memandang sebelah mata kepada keluarga mereka. Sakit itu kian terasa ketika Hasan pulang membawa bayinya tanpa kabar dari Suci.

“Apa yang harus aku tulis untuk membalas surat ini Mas?”
“Kalau kamu belum punya jawaban, jangan diberi balasan dulu Dik,”
“Ibu...,” teriakan Dul mengagetkan keduanya.
“Kamu itu, pulang-pulang bukannya mengucapkan salam, malah teriak-teriak begitu,” Ani menarik telinga Dul. Dul hanya terkekeh menyadari kesalahannya.
“Ada apa to Dul, kok terengah-engah begitu seperti dikejar anjing saja kamu,” ayahnya memperhatikan Dul yang masih menata kembali nafasnya.
Dul pun menceritakan tentang Hasan yang kini telah mulai bisa berbicara kembali. Kabar yang tak terduga dan membuat kedua orangtuanya itu berbinar bahagia. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas nikmat yang tiada terkira ini,” Ucapan syukur terus terucap dari bibir keduanya.

Sebuah kabar yang tiada terduga datang dari dua arah yang saling bertolak belakang itu memenuhi ruang dalam pikiran Andi dan Ani. Namun bagi mereka tentu pulihnya ingatan Hasan lebih penting untuk kehidupan Rian ke depan. Biarkan Rian menikmati bahagia memiliki ayah yang bisa diajak berkomunikasi dalam kehidupan sunyinya selama ini. Waktu yang telah Rian tunggu bertahun-tahun dalam rumah kecilnya yang hanya berisi gema suaranya akan bertambah hidup dengan bincang-bincang dengan bapaknya.

Andi dan Ani sepakat untuk tak memberitahukan kabar tentang Suci kepada Rian. Mereka akan membantu Hasan menemukan dirinya kembali, menjadi sosok ayah yang mampu membimbing sang putra menjalani hari-harinya ke depan. Mengembalikan senyum dan harapan di diri sepupunya, membantu mengisi kekosongan dalam jiwa Hasan dengan bersandar pada Sang Pemilik Semesta.

“Nanti kita buka bersama di rumah Rian lagi ya Bu,” pinta Dul kepada ibunya di saat Ani sedang memasak di dapur. Ia pun membantu ibunya menyiapkan menu berbuka dengan riang sambil terus bercerita tentang apa yang tadi dilihatnya di pasar. Ani hanya tersenyum dan sesekali menanggapi cerita anaknya.
“Oh ya Bu, tadi di toko mebel seberang pasar itu, ramai sekali orang-orang berkerumun,”
“Ramai yang beli?” terang Ani kepada sang putra.
“Bukan Bu, tadi orang-orang mengatakan pemilik tokonya pingsan dan mau dibawa ke rumah sakit,”
Ani sejenak menghentikan memotong sayuran ketika mendengar cerita Dul. Jika yang Dul ceritakan adalah toko milik ayah Suci, apakah yang dibawa ke rumah sakit adalah ayah Suci? Ani tak ingin terlalu jauh memikirkan apa yang didengarnya tentang keluarga Suci. Ia pun melanjutkan aktivitas memasaknya berasama Dul.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koneksi Antar Materi 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

  COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK A.       Paradigma Berfikir Coaching 1.        Paradigma berpikir yang pertama adalah fokus pada  co...