Motor
berwarna oranye meninggalkan halaman rumah Andi setelah menyerahkan amplop yang
dibawanya. Andi dan Ani penasaran dengan isi amplop yang mereka terima siang
itu. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki saudara yang tinggal di luar
kota dan selama ini komunikasi mereka lakukan dengan saling berkunjung satu
sama lain. Kabar dari siapa dan berita apa yang akan mereka terima dari sepucuk
surat beramplop coklat di tangan itu membawa mereka segera membaca nama di balik
amplop.
“Tidak
ada nama terangnya Mas,” Ani kembali mengamati tulisan yang tertulis di amplop
di tangannya. Ia hanya menemukan tulisan: Pengirim dengan nama “Sahabatmu”
“Ini
perangko dari Malaysia Dik,” Andi menunjuk ke arah perangko yang tertempel di amplop.
Rupanya surat itu dikirim dari seseorang yang saat ini tinggal di negara
tetangga. Mereka semakin penasaran dengan si pengirim surat, perlahan mereka
membuka amplop itu.
“Aku
sepertinya hafal dengan tulisan ini Mas,” Ani berkata setelah melihat goresan
pena dari surat di tangannya. Ia sangat mengenal tulisan tangan itu, tulisan
yang rapi milik sahabat yang dulu begitu akrab dengannya. Seseorang yang juga
menjadi bagian dari keluarga besarnya, namun juga seseorang yang menorehkan
luka di benak semua keluarga besarnya.
“Suci...,”
Andi menyebut nama itu sambil memandang ke arah sang istri. Ia ingin memastikan
kebenaran dugaan yang ada dalam pikirannya. Anggukan kepala Ani membenarkannya.
Mereka kemudian masuk ke rumah untuk membaca isi surat tersebut.
“Aku tahu An, begitu besar salahku pada
keluarga besarmu. Terlebih pada Mas Hasan, Emak, dan Abah. Maafkan aku An,
mohonkan maaf kepada seluruh keluargamu, aku mohon Ani, Andi...bantu aku.”
“Ijinkan aku bertemu anakku, aku tak
pernah tahu bagaimana kabarnya, aku tak bisa berbuat apapun, aku memang bodoh
dan tak berani menentang ayahku.”
Penggalan
kalimat yang tertulis dalam surat yang dibacanya, Suci mengabarkan akan
kepulangannya sebulan lagi. Ia meminta untuk dapat bertemu dengan Rian, putra
yang semenjak bayi telah ditinggalkannya bersama Hasan.
Andi
dan Ani saling terdiam, pikiran mereka mengembara ke masa-masa sulit yang
dijalani keluarga Hasan. Mereka berdua menjadi saksi perihnya kehidupan yang
dijalani Abah dan Emak karena perubahan sikap Hasan semenjak berpisah dengan
Suci. Mereka juga yang turut mengasuh Rian hingga kini beranjak remaja.
Keduanya turut terluka dengan perlakuan keluarga Suci yang memandang sebelah
mata kepada keluarga mereka. Sakit itu kian terasa ketika Hasan pulang membawa
bayinya tanpa kabar dari Suci.
“Apa
yang harus aku tulis untuk membalas surat ini Mas?”
“Kalau
kamu belum punya jawaban, jangan diberi balasan dulu Dik,”
“Ibu...,”
teriakan Dul mengagetkan keduanya.
“Kamu
itu, pulang-pulang bukannya mengucapkan salam, malah teriak-teriak begitu,” Ani
menarik telinga Dul. Dul hanya terkekeh menyadari kesalahannya.
“Ada
apa to Dul, kok terengah-engah begitu seperti dikejar anjing saja kamu,”
ayahnya memperhatikan Dul yang masih menata kembali nafasnya.
Dul
pun menceritakan tentang Hasan yang kini telah mulai bisa berbicara kembali.
Kabar yang tak terduga dan membuat kedua orangtuanya itu berbinar bahagia.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas nikmat yang tiada terkira ini,”
Ucapan syukur terus terucap dari bibir keduanya.
Sebuah
kabar yang tiada terduga datang dari dua arah yang saling bertolak belakang itu
memenuhi ruang dalam pikiran Andi dan Ani. Namun bagi mereka tentu pulihnya
ingatan Hasan lebih penting untuk kehidupan Rian ke depan. Biarkan Rian
menikmati bahagia memiliki ayah yang bisa diajak berkomunikasi dalam kehidupan
sunyinya selama ini. Waktu yang telah Rian tunggu bertahun-tahun dalam rumah
kecilnya yang hanya berisi gema suaranya akan bertambah hidup dengan
bincang-bincang dengan bapaknya.
Andi
dan Ani sepakat untuk tak memberitahukan kabar tentang Suci kepada Rian. Mereka
akan membantu Hasan menemukan dirinya kembali, menjadi sosok ayah yang mampu
membimbing sang putra menjalani hari-harinya ke depan. Mengembalikan senyum dan
harapan di diri sepupunya, membantu mengisi kekosongan dalam jiwa Hasan dengan
bersandar pada Sang Pemilik Semesta.
“Nanti
kita buka bersama di rumah Rian lagi ya Bu,” pinta Dul kepada ibunya di saat
Ani sedang memasak di dapur. Ia pun membantu ibunya menyiapkan menu berbuka
dengan riang sambil terus bercerita tentang apa yang tadi dilihatnya di pasar.
Ani hanya tersenyum dan sesekali menanggapi cerita anaknya.
“Oh
ya Bu, tadi di toko mebel seberang pasar itu, ramai sekali orang-orang
berkerumun,”
“Ramai
yang beli?” terang Ani kepada sang putra.
“Bukan
Bu, tadi orang-orang mengatakan pemilik tokonya pingsan dan mau dibawa ke rumah
sakit,”
Ani
sejenak menghentikan memotong sayuran ketika mendengar cerita Dul. Jika yang
Dul ceritakan adalah toko milik ayah Suci, apakah yang dibawa ke rumah sakit
adalah ayah Suci? Ani tak ingin terlalu jauh memikirkan apa yang didengarnya
tentang keluarga Suci. Ia pun melanjutkan aktivitas memasaknya berasama Dul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar