Sabtu, 18 Juli 2020


Part_11


Matahari belum juga menampakkan sinarnya ketika Ani tengah membersihkan halaman rumahnya. Semburat warna jingga terlihat indah menghiasi langit di ufuk timur. Gumpalan-gumpalan awan pun tak luput dari semburat sinar sang mentari. Perlahan kilau sinar menerobos sela-sela dedaunan di musim kemarau. Meski hari masih pagi, sebagian besar warga desa telah berada di sawah dan ladangnya. Bulan puasa tak menghalangi aktivitas mereka untuk merawat tanaman yang sebagian besar berupa sayur mayur di sawah.

Usai menyapu halaman dan merapikan tanaman hias, Ani menyiapkan keranjang belanja yang akan dibawa Dul dan ayahnya ke pasar.
“Sebelum ke pasar, kamu ke rumah Rian dulu,”
“Rian diajak ke pasar Bu?”
“Bukan begitu, tapi bilang sama Rian untuk membawa bapaknya jalan-jalan ke sungai atau ke sawah agar Ibu bisa membereskan kamar Emak,”
Dul langsung berlari menuju rumah Rian setelah Ibunya selesai berkata. Riang hatinya membuat langkah kakinya makin ringan, tak sabar ia ikut bapaknya ke pasar di hari-hari terakhir ramadan itu. Terbayang di benaknya riuhnya pasar dengan banyaknya pengunjung yang akan membeli keperluan di hari raya. Dul juga telah melihat daftar belanja yang akan dibeli keluarganya. Ia telah membayangkan untuk mengenakan baju baru yang sama dengan Rian di hari raya nanti. Ibunya selalu membelikan baju dengan model yang sama dengan Rian untuk mereka berdua. Meski mereka bukan saudara kandung, namun terlihat sangat dekat bagai saudara kembar.

“Lihat itu Pak, sebentar lagi kita akan panen kacang,” Rian menunjuk ke arah tanaman yang merambat di batang-batang bambu yang menopang tumbuhan merambat itu. Tamanam yang berada seolah memagari rimbunnya tamanam cabai itu telah memperlihatkan buahnya yang panjang-panjang menjuntai. Sebagian telah terlihat siap untuk dipanen. Sambil berjalan menyusuri kebun cabai, mereka sesekali berjongkok untuk membersihkan rumput liar yang berada di antara tanaman sayuran.
Sawah itu milik keluarga Rian, dulu Mbah Putri sering membawa Rian saat bekerja di sawah. Sepeninggal sang nenek sawah itu dikelola oleh Andi dan Ani, Dul dan Rian pun terbiasa membantu pekerjaan di sawah.

Rian melihat bapaknya duduk di bawah pohon pepaya sambil memandang hamparan sawah. Ia perhatikan raut wajah bapaknya yang seolah-olah sedang ada sesuatu yang ia pikirkan. “Apakah mungkin bapak mengingat masa lalunya,” bisik hati Rian.
Matahari kian meninggi, sinarnya yang kian terasa panas menyengat mengingatkan Rian bahwa pagi telah berganti siang. Ia beranjak dan segera menghampiri bapak untuk diajaknya pulang. “Pasti Bude Ani telah selesai merapikan kamar Mbah,” lirih kalimat yang ia ucapkan ketika mendekati Hasan. Mereka kembali menyusuri pematang sawah untuk kembali ke rumah. Berjalan sambil menyipitkan mata oleh silaunya cahaya mentari di siang hari hingga Rian kadang berlari untuk mempercepat langkah kakinya.

Sesampainya di rumah, ia pun segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Rumahnya terlihat lebih rapi dan bersih, rupanya Bude Ani membersihkan seluruh rumah itu, tak hanya kamar Emak. Ruang depan terlihat lebih hidup dengan adanya dua botol bekas berisi potongan batang mawar serta beberapa batang lainnya menghiasai meja.
Direbahkan badannya di atas bangku panjang itu sambil menikmati semilir angin yang masuk melalui pintu yang sengaja dibuka. Suasana yang nyaman itu membuat Rian tak lama tertidur pulas. Hasan menghampiri sang putra dan menyelimuti tubuhnya dengan kain sarung yang ia bawa dari kamar. Hasan kembali ke kamar dan terlihat di pundaknya kasur yang hendak ia jemur. Tak lupa semua bantal pun ia jemur pula. Ia duduk di dekat pintu sambil sesekali memukul-mukul kasur serta membaliknya.

Hasan meninggalkan aktivitasnya itu ketika suara adzan sayup-sayup terdengar. Membersihkan diri dan kini ia terlihat khusyu menunaikan kewajiban kepada Sang Pencipta. Tak ia dengar salam dari Dul yang datang ke rumah mereka. Dul tanpa menunggu jawaban tuan rumah masuk untuk mencari Rian. Ia tak memperhatikan bangku di ruang depan, mencari di kamar hingga dapur dan kamar mandi. Ia melihat ada yang sedang menunaikan salat di ruang ibadah itu. Awalnya ia mengira Rian yang sedang berada di sana, namun setelah ia perhatikan ternyata ayah Rian.

Pelan ia meninggalkan ruang itu hendak pulang, namun langkahnya terhenti ketika ia menyadari Rian tidur di ruang depan. Ia mencoba membangunkan sahabatnya itu. “Rian bangun, sudah salat dhuhur belum?” sambil menggoyangkan tubuh Rian ia memanggil-manggil namanya. Rian pun mulai menggeliatkan tubuhnya, matanya mulai terbuka dan tersenyum melihat ada Dul di rumahnya.
“Kamu itu tidur kaya kebo, sulit sekali dibangunkan,” Dul menggerutu.
Rian hanya tertawa mendengar gerutu sahabatnya. Ia melangkahkan kakinya ke belakang dan meninggalkan Dul yang masih menggerutu. Tidur siangnya benar-benar pulas, hingga tak terasa dua jam telah ia habiskan di alam mimpi.
Bersama Dul, Rian mengangkat kasur dan bantal serta menatanya kembali. Mereka pun asyik menikmati suasana sore itu sambil membaca dan bercanda sampai waktu asar pun telah tiba. Tanpa menunggu lama mereka pun segera menunaikan salat asar berdua.
Selesai  salat asar, Dul pun menceritakan apa yang tadi dilihatnya saat baru datang ke rumah tadi kepada Rian.
“Rian.., tadi kulihat Lek Hasan salat dhuhur, khusyu’ banget sampai tak mendengar aku datang.”
Rian pun mengingat kejadian waktu mereka berada di sawah tadi pagi.
“Sepertinya Bapak sudah mulai mengingat apa yang terjadi,” Rian bergumam lirih. Rian tersenyum mendengar semua itu, terasa ada segumpal es menyejukkan hatinya. Tubuhnya terasa segar, ia melangkah keluar kamar bersama Dul untuk mencari bapaknya. Rupanya Hasan saat itu sedang berada salat asar di ruang tempat ibadah keluarga mereka. Terlihat ia sudah menyelesaikan salatnya, namun tak juga ia beranjak dari duduknya. Rian dan Dul bisa melihat guncangan tubuh yang terisak lirih dalam doa yang sedang dipanjatkannya itu.

“Bapak..,” Rian menyentuh pundak Bapak dengan pelan.
“R i a n,” suara yang lama ia rindukan terdengar lirih. Hasan memeluk putranya sambil tiada henti menangis.
“Maafkan Bapak,” hanya kalimat itu yang selalu diucapkan Hasan.
Dul meninggalkan keduanya, ia hendak mengabarkan berita bahagia itu kepada kedua orangtuanya.

5 komentar:

Koneksi Antar Materi 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

  COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK A.       Paradigma Berfikir Coaching 1.        Paradigma berpikir yang pertama adalah fokus pada  co...