Jumat, 31 Juli 2020

Puasa Bersama Bapak_part 13


Part_13


Ruangan bernuansa serba putih itu terasa begitu sunyi, tak ada suara dari penghuni yang masih terjaga meski malam telah larut. Ia tak bisa tidur dengan nyenyak meski telah dibantu dengan obat yang disuntikkan melalui selang infus yang terpasang ditangannya. Pikirannya melayang jauh kepada seseorang yang dirindukannya. Permata hati yang tinggal jauh di negeri seberang bersama pasangan pilihannya. Ada rasa bersalah dalam benaknya kini, akan kehidupan yang dijalani putrinya yang tak bisa dekat dengannya. Harta telah membutakan hatinya kala itu, hingga ia tak peduli dengan tangis sang putri ketika kehilangan suami dan putranya. Ia pula yang telah tega mengusir menantu dan cucunya yang masih bayi dari rumah megahnya.

“Bapak belum tidur?” Rino mendekati Pak Gunando ayahnya ketika ia terjaga.
“Rino...,” pelan suara itu memanggil.
Rino mendekati ayahnya yang meminta untuk duduk. Ia mengambilkan segelas air dan menyeka keringat dingin di dahi sang ayah. Meski ruangan dengan fasilitas pendingin ruangan yang cukup dingin, namun keringat selalu keluar dari tubuh Pak Gunando yang masih demam.

“Bapak sedang memikirkan Suci?”
Tak ada jawaban yang keluar dari ayahnya, namun bulir bening yang menetes dari netra Pak Gunando cukup untuk memberi jawaban. Rino pun yakin bahwa pikiran ayahnya yang tidak tenanglah yang memicu lemahnya kondisi fisiknya saat ini. Namun ia tak mampu membantu gelisah di hati ayahnya, ia hanya bisa menemani dan memberikan apa yang ayahnya minta. Apapun yang ayahnya perintahkan tentu akan ia turuti. Tak ada yang berani membatah perintah sang ayah, tak hanya dalam mengelola bisnis bahkan masalah dalam rumah tangganya pun Pak Gunando yang banyak menentukan.

“Besok Suci sudah sampai ke sini Pak,” Rino menyampaikan kabar adiknya.
Semenjak dibawa suaminya, baru dua kali mereka pulang ke Indonesia. Pertama ketika Rino menikah dan kepulangan kedua adalah dua tahun lalu ketika ibunya meninggal. Waktu yang singkat berada di dekat keluarganya tak cukup untuk Rino dan ayahnya mengetahui tentang keadaan Suci dan keluarganya. Suami Suci tak mengijinkan ia berlama-lama bersama keluarganya. Meski dari sorot mata adiknya Rino membaca kegelisahan dan kerinduan berbagi cerita seperti waktu remaja mereka.

“Kamu kirim surat ke abang Ci kalau ada yang ingin kamu ceritakan,” Rino menyampaikan hal itu beberapa kali.
Namun ia tak tahu kenapa Suci tak pernah berkirim kabar kepadanya maupun kepada ayah dan ibunya. Ada rasa curiga tentang kehidupan adiknya, namun ia tak berani menyampaikan dugaan dalam pikirannya kepada siapapun.

“Aku baik-baik saja Bang,” jawaban itu yang Rino dapatkan ketika ia mengantar adiknya ke bandara. Namun ia yakin jawaban itu bukanlah kondisi yang nyata, terlebih ada suami Suci yang selalu memperhatikannya ketika ia berbicara dengan Suci.

Banyak saudara yang selalu mengatakan betapa beruntungnya Suci bersuamikan saudagar kaya dan tinggal di luar negeri. Gelimang harta dan penampilan yang serba mewah selalu menjadi tolak ukur penilaian semua saudara yang melihatnya ketika pulang. Belum lagi ketika Pak Gunando menceritakan suksesnya bisnis sang menantu dan harta kekayaan yang dimilikinya. Rasa bangga saat ia menceritakan kehidupan sang putri yang bagai ratu dalam istana. Ia yakin jika Suci pasti bahagia dengan kehidupan yang dijalani bersama pria pilihannya itu.

Suci tak pernah memberi kabar tentang kehidupan keluarganya, tak ada yang tahu kehidupan yang ia jalani bersama Ridwan di negeri seberang. Tak banyak yang ia ceritakan ketika ayah dan ibunya saat keduanyan berkunjung ke rumah mereka ketika Suci melahirkan anak-anaknya. Bapak dan ibunya hanya menyaksikan kehidupan yang terlihat bahagia dan pekerjaan rumah yang selalu ditangani oleh pembantu di rumah anak dan menantunya itu.

“Sepertinya ada yang kamu rahasiakan dari ibu Ci,” Bu Gunando melihat resah dari sorot mata putrinya.
Naluri seorang ibu yang telah mengandung dan membesarkan  Suci tak bisa dibohongi. Namun Suci tak pernah menceritakan apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Keresahan hati Bu Gunando yang ia sampaikan pada suaminya pun selalu ditanggapi sebagai perasaan yang salah menurut Pak Gunando.
“Ibu lihat sendiri kalau mereka tidak kekurangan apapun, perasaan kamu itu berlebihan Bu,” Pak Gunando yakin dengan apa yang ia lihat tentang rumah tangga Suci.

Kekhawatiran Bu Gunando membuat kondisi kesehatannya kian menurun, ia hanya mengungkapkan semua dalam buku kecil yang ditemukan Rino ketika ia membereskan barang-barang di kamar ibunya selepas acara selamatan untuk mendoakan sang ibu. Rino yakin apa yang dirasakan ibunya tidak salah, namun jawaban Suci masih sama seperti yang diungkapkannya pada ibunya.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupanmu di sana Ci?” pertanyaan dalam benak Rino yang sampai kini belum terjawab.

Rabu, 22 Juli 2020

Puasa Bersama Bapak_part12


Part_12


Motor berwarna oranye meninggalkan halaman rumah Andi setelah menyerahkan amplop yang dibawanya. Andi dan Ani penasaran dengan isi amplop yang mereka terima siang itu. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki saudara yang tinggal di luar kota dan selama ini komunikasi mereka lakukan dengan saling berkunjung satu sama lain. Kabar dari siapa dan berita apa yang akan mereka terima dari sepucuk surat beramplop coklat di tangan itu membawa mereka segera membaca nama di balik amplop.

“Tidak ada nama terangnya Mas,” Ani kembali mengamati tulisan yang tertulis di amplop di tangannya. Ia hanya menemukan tulisan: Pengirim dengan nama “Sahabatmu”
“Ini perangko dari Malaysia Dik,” Andi menunjuk ke arah perangko yang tertempel di amplop. Rupanya surat itu dikirim dari seseorang yang saat ini tinggal di negara tetangga. Mereka semakin penasaran dengan si pengirim surat, perlahan mereka membuka amplop itu.

“Aku sepertinya hafal dengan tulisan ini Mas,” Ani berkata setelah melihat goresan pena dari surat di tangannya. Ia sangat mengenal tulisan tangan itu, tulisan yang rapi milik sahabat yang dulu begitu akrab dengannya. Seseorang yang juga menjadi bagian dari keluarga besarnya, namun juga seseorang yang menorehkan luka di benak semua keluarga besarnya.

“Suci...,” Andi menyebut nama itu sambil memandang ke arah sang istri. Ia ingin memastikan kebenaran dugaan yang ada dalam pikirannya. Anggukan kepala Ani membenarkannya. Mereka kemudian masuk ke rumah untuk membaca isi surat tersebut.
“Aku tahu An, begitu besar salahku pada keluarga besarmu. Terlebih pada Mas Hasan, Emak, dan Abah. Maafkan aku An, mohonkan maaf kepada seluruh keluargamu, aku mohon Ani, Andi...bantu aku.”
“Ijinkan aku bertemu anakku, aku tak pernah tahu bagaimana kabarnya, aku tak bisa berbuat apapun, aku memang bodoh dan tak berani menentang ayahku.”

Penggalan kalimat yang tertulis dalam surat yang dibacanya, Suci mengabarkan akan kepulangannya sebulan lagi. Ia meminta untuk dapat bertemu dengan Rian, putra yang semenjak bayi telah ditinggalkannya bersama Hasan.
Andi dan Ani saling terdiam, pikiran mereka mengembara ke masa-masa sulit yang dijalani keluarga Hasan. Mereka berdua menjadi saksi perihnya kehidupan yang dijalani Abah dan Emak karena perubahan sikap Hasan semenjak berpisah dengan Suci. Mereka juga yang turut mengasuh Rian hingga kini beranjak remaja. Keduanya turut terluka dengan perlakuan keluarga Suci yang memandang sebelah mata kepada keluarga mereka. Sakit itu kian terasa ketika Hasan pulang membawa bayinya tanpa kabar dari Suci.

“Apa yang harus aku tulis untuk membalas surat ini Mas?”
“Kalau kamu belum punya jawaban, jangan diberi balasan dulu Dik,”
“Ibu...,” teriakan Dul mengagetkan keduanya.
“Kamu itu, pulang-pulang bukannya mengucapkan salam, malah teriak-teriak begitu,” Ani menarik telinga Dul. Dul hanya terkekeh menyadari kesalahannya.
“Ada apa to Dul, kok terengah-engah begitu seperti dikejar anjing saja kamu,” ayahnya memperhatikan Dul yang masih menata kembali nafasnya.
Dul pun menceritakan tentang Hasan yang kini telah mulai bisa berbicara kembali. Kabar yang tak terduga dan membuat kedua orangtuanya itu berbinar bahagia. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas nikmat yang tiada terkira ini,” Ucapan syukur terus terucap dari bibir keduanya.

Sebuah kabar yang tiada terduga datang dari dua arah yang saling bertolak belakang itu memenuhi ruang dalam pikiran Andi dan Ani. Namun bagi mereka tentu pulihnya ingatan Hasan lebih penting untuk kehidupan Rian ke depan. Biarkan Rian menikmati bahagia memiliki ayah yang bisa diajak berkomunikasi dalam kehidupan sunyinya selama ini. Waktu yang telah Rian tunggu bertahun-tahun dalam rumah kecilnya yang hanya berisi gema suaranya akan bertambah hidup dengan bincang-bincang dengan bapaknya.

Andi dan Ani sepakat untuk tak memberitahukan kabar tentang Suci kepada Rian. Mereka akan membantu Hasan menemukan dirinya kembali, menjadi sosok ayah yang mampu membimbing sang putra menjalani hari-harinya ke depan. Mengembalikan senyum dan harapan di diri sepupunya, membantu mengisi kekosongan dalam jiwa Hasan dengan bersandar pada Sang Pemilik Semesta.

“Nanti kita buka bersama di rumah Rian lagi ya Bu,” pinta Dul kepada ibunya di saat Ani sedang memasak di dapur. Ia pun membantu ibunya menyiapkan menu berbuka dengan riang sambil terus bercerita tentang apa yang tadi dilihatnya di pasar. Ani hanya tersenyum dan sesekali menanggapi cerita anaknya.
“Oh ya Bu, tadi di toko mebel seberang pasar itu, ramai sekali orang-orang berkerumun,”
“Ramai yang beli?” terang Ani kepada sang putra.
“Bukan Bu, tadi orang-orang mengatakan pemilik tokonya pingsan dan mau dibawa ke rumah sakit,”
Ani sejenak menghentikan memotong sayuran ketika mendengar cerita Dul. Jika yang Dul ceritakan adalah toko milik ayah Suci, apakah yang dibawa ke rumah sakit adalah ayah Suci? Ani tak ingin terlalu jauh memikirkan apa yang didengarnya tentang keluarga Suci. Ia pun melanjutkan aktivitas memasaknya berasama Dul.



Sabtu, 18 Juli 2020


Part_11


Matahari belum juga menampakkan sinarnya ketika Ani tengah membersihkan halaman rumahnya. Semburat warna jingga terlihat indah menghiasi langit di ufuk timur. Gumpalan-gumpalan awan pun tak luput dari semburat sinar sang mentari. Perlahan kilau sinar menerobos sela-sela dedaunan di musim kemarau. Meski hari masih pagi, sebagian besar warga desa telah berada di sawah dan ladangnya. Bulan puasa tak menghalangi aktivitas mereka untuk merawat tanaman yang sebagian besar berupa sayur mayur di sawah.

Usai menyapu halaman dan merapikan tanaman hias, Ani menyiapkan keranjang belanja yang akan dibawa Dul dan ayahnya ke pasar.
“Sebelum ke pasar, kamu ke rumah Rian dulu,”
“Rian diajak ke pasar Bu?”
“Bukan begitu, tapi bilang sama Rian untuk membawa bapaknya jalan-jalan ke sungai atau ke sawah agar Ibu bisa membereskan kamar Emak,”
Dul langsung berlari menuju rumah Rian setelah Ibunya selesai berkata. Riang hatinya membuat langkah kakinya makin ringan, tak sabar ia ikut bapaknya ke pasar di hari-hari terakhir ramadan itu. Terbayang di benaknya riuhnya pasar dengan banyaknya pengunjung yang akan membeli keperluan di hari raya. Dul juga telah melihat daftar belanja yang akan dibeli keluarganya. Ia telah membayangkan untuk mengenakan baju baru yang sama dengan Rian di hari raya nanti. Ibunya selalu membelikan baju dengan model yang sama dengan Rian untuk mereka berdua. Meski mereka bukan saudara kandung, namun terlihat sangat dekat bagai saudara kembar.

“Lihat itu Pak, sebentar lagi kita akan panen kacang,” Rian menunjuk ke arah tanaman yang merambat di batang-batang bambu yang menopang tumbuhan merambat itu. Tamanam yang berada seolah memagari rimbunnya tamanam cabai itu telah memperlihatkan buahnya yang panjang-panjang menjuntai. Sebagian telah terlihat siap untuk dipanen. Sambil berjalan menyusuri kebun cabai, mereka sesekali berjongkok untuk membersihkan rumput liar yang berada di antara tanaman sayuran.
Sawah itu milik keluarga Rian, dulu Mbah Putri sering membawa Rian saat bekerja di sawah. Sepeninggal sang nenek sawah itu dikelola oleh Andi dan Ani, Dul dan Rian pun terbiasa membantu pekerjaan di sawah.

Rian melihat bapaknya duduk di bawah pohon pepaya sambil memandang hamparan sawah. Ia perhatikan raut wajah bapaknya yang seolah-olah sedang ada sesuatu yang ia pikirkan. “Apakah mungkin bapak mengingat masa lalunya,” bisik hati Rian.
Matahari kian meninggi, sinarnya yang kian terasa panas menyengat mengingatkan Rian bahwa pagi telah berganti siang. Ia beranjak dan segera menghampiri bapak untuk diajaknya pulang. “Pasti Bude Ani telah selesai merapikan kamar Mbah,” lirih kalimat yang ia ucapkan ketika mendekati Hasan. Mereka kembali menyusuri pematang sawah untuk kembali ke rumah. Berjalan sambil menyipitkan mata oleh silaunya cahaya mentari di siang hari hingga Rian kadang berlari untuk mempercepat langkah kakinya.

Sesampainya di rumah, ia pun segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Rumahnya terlihat lebih rapi dan bersih, rupanya Bude Ani membersihkan seluruh rumah itu, tak hanya kamar Emak. Ruang depan terlihat lebih hidup dengan adanya dua botol bekas berisi potongan batang mawar serta beberapa batang lainnya menghiasai meja.
Direbahkan badannya di atas bangku panjang itu sambil menikmati semilir angin yang masuk melalui pintu yang sengaja dibuka. Suasana yang nyaman itu membuat Rian tak lama tertidur pulas. Hasan menghampiri sang putra dan menyelimuti tubuhnya dengan kain sarung yang ia bawa dari kamar. Hasan kembali ke kamar dan terlihat di pundaknya kasur yang hendak ia jemur. Tak lupa semua bantal pun ia jemur pula. Ia duduk di dekat pintu sambil sesekali memukul-mukul kasur serta membaliknya.

Hasan meninggalkan aktivitasnya itu ketika suara adzan sayup-sayup terdengar. Membersihkan diri dan kini ia terlihat khusyu menunaikan kewajiban kepada Sang Pencipta. Tak ia dengar salam dari Dul yang datang ke rumah mereka. Dul tanpa menunggu jawaban tuan rumah masuk untuk mencari Rian. Ia tak memperhatikan bangku di ruang depan, mencari di kamar hingga dapur dan kamar mandi. Ia melihat ada yang sedang menunaikan salat di ruang ibadah itu. Awalnya ia mengira Rian yang sedang berada di sana, namun setelah ia perhatikan ternyata ayah Rian.

Pelan ia meninggalkan ruang itu hendak pulang, namun langkahnya terhenti ketika ia menyadari Rian tidur di ruang depan. Ia mencoba membangunkan sahabatnya itu. “Rian bangun, sudah salat dhuhur belum?” sambil menggoyangkan tubuh Rian ia memanggil-manggil namanya. Rian pun mulai menggeliatkan tubuhnya, matanya mulai terbuka dan tersenyum melihat ada Dul di rumahnya.
“Kamu itu tidur kaya kebo, sulit sekali dibangunkan,” Dul menggerutu.
Rian hanya tertawa mendengar gerutu sahabatnya. Ia melangkahkan kakinya ke belakang dan meninggalkan Dul yang masih menggerutu. Tidur siangnya benar-benar pulas, hingga tak terasa dua jam telah ia habiskan di alam mimpi.
Bersama Dul, Rian mengangkat kasur dan bantal serta menatanya kembali. Mereka pun asyik menikmati suasana sore itu sambil membaca dan bercanda sampai waktu asar pun telah tiba. Tanpa menunggu lama mereka pun segera menunaikan salat asar berdua.
Selesai  salat asar, Dul pun menceritakan apa yang tadi dilihatnya saat baru datang ke rumah tadi kepada Rian.
“Rian.., tadi kulihat Lek Hasan salat dhuhur, khusyu’ banget sampai tak mendengar aku datang.”
Rian pun mengingat kejadian waktu mereka berada di sawah tadi pagi.
“Sepertinya Bapak sudah mulai mengingat apa yang terjadi,” Rian bergumam lirih. Rian tersenyum mendengar semua itu, terasa ada segumpal es menyejukkan hatinya. Tubuhnya terasa segar, ia melangkah keluar kamar bersama Dul untuk mencari bapaknya. Rupanya Hasan saat itu sedang berada salat asar di ruang tempat ibadah keluarga mereka. Terlihat ia sudah menyelesaikan salatnya, namun tak juga ia beranjak dari duduknya. Rian dan Dul bisa melihat guncangan tubuh yang terisak lirih dalam doa yang sedang dipanjatkannya itu.

“Bapak..,” Rian menyentuh pundak Bapak dengan pelan.
“R i a n,” suara yang lama ia rindukan terdengar lirih. Hasan memeluk putranya sambil tiada henti menangis.
“Maafkan Bapak,” hanya kalimat itu yang selalu diucapkan Hasan.
Dul meninggalkan keduanya, ia hendak mengabarkan berita bahagia itu kepada kedua orangtuanya.

Sabtu, 04 Juli 2020

puasa bersama bapak_part 10



Part_10

“Dul.....,” Rian membangunkan Dul ketika matahari telah condong ke barat.
Dul menggeliatkan tubuhnya meski matanya masih tertutup. Ia terlihat masih menikmati istirahat siangnya. Ketika ia membuka mata, ia hanya tersenyum ketika dilihatnya waktu telah beranjak sore.

“Aku pulang dulu ya,” tanpa menunggu jawaban Rian, Dul melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sahabatnya. Langkahnya pelan dengan mata yang masih mengantuk. Rian hanya tersenyum melihat Dul yang terantuk pintu saat membuka kamar. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Dul sedikit kesakitan sambil memegang kepalanya.
“Disuruh cuci muka nggak mau, ya begitu jadinya Dul,” Rian kembali tertawa.

Rian merasakan tubuhnya sudah tidak lemas lagi, pening di kepalanya juga sudah berkurang. Ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Ternyata di dapur Bapak sudah menyiapkan air hangat untuknya. Bapak juga tengah menyiapkan masakan untuk berbuka.
“Rian sudah nggak demam kok Pak, mandi air dingin juga sudah kuat,” Bapak hanya menggelengkan kepalanya mendengar penuturan Rian. Ia membawakan ember berisi air hangat itu ke dalam kamar mandi. Rian hanya mengekor sang bapak dan menuruti apa yang bapaknya inginkan.

Tubuh Rian terasa segar lagi, selesai salat asar ia pun membantu Bapak memasak. Ada bayam, jagung manis, tempe, dan  pisang yang telah siap untuk dimasak. Rian menyiapkan panci untuk memasak sayur, sedangkan Bapak meracik bumbu-bumbunya. Aroma masakan pun memenuhi rumah kecil mereka. Harumnya aroma kolak pisang beradu dengan aroma sayur bening yang manis dan segar. Menu sederhana yang nikmat disantap setelah seharian berpuasa. Rian pun mencicipi masakan kali ini karena ia tidak sedang berpuasa.

“Hmmmm...., kolak pisangnya seperti yang Mbah Putri buat Pak,”
Ingatan Rian kembali ke masa saat bersama neneknya. Ia selalu menemani Mbah Putri saat sedang memasak. Neneknya akan mengambilkan Rian masakan yang telah matang untuk dicicipi. Rian akan berlari mencari Bapak untuk berbagi semangkuk kecil masakan yang baru matang itu. Bergantian ia menyuapkan makanan yang dibawanya kepada Bapak. Bapak akan melonjak kegirangan ketika selesai suapan terakhir dari Rian. Ia pun menggendong Rian dan mengajaknya mengambil makanan di meja makan.

“Rian....,” suara Dul membuat Rian terjaga dari lamunannya. Dilihatnya Dul membawakannya makanan buatan ibunya.
“Kata ibu, Rian harus makan ini biar cepet sehat,” Dul menyerahkan mangkuknya.
Rian pun melihat isi mangkuk itu. Bubur kacang hijau dengan ketan hitam dengan aroma pandang yang terlihat sangat lezat.
“Kacang hijau bagus untuk menambah energi,” Dul berkata sambil menuangkan bubur kacang hijau ke mangkuk kecil dan diberikan pada Rian.
“Aku makannya nanti saja bareng Bapak buka, tadi juga sudah mencoba kolak pisang buatan Bapak,” Rian pun menuju dapur dan mengisi mangkuk Dul dengan kolak pisang buatan Bapak.
“Kamu buka di sini saja bareng aku dan Bapak,”
“Besok lagi saja, kemarin kan sudah bareng-breng di sini,”
“Ya sudah ini kolak buatan Bapak nanti buat buka puasa di rumah kamu, biar kita buka puasanya sama,  rasanya persis seperti masakan Mbah Putri,” Rian menyerahkan mangkuk yang telah berganti isinya.


"Ini pasti Hasan yang masak, benar-benar seperti buatan Emak,” Ani menikmati kolak pisang yang dibawa Dul dari rumah Rian.
“Jangan dihabiskan dong Bu,” Andi tak mau kalah meraih mangkuk dan menghabiskannya.
Dul hanya tertawa melihat bapak dan ibunya berebut kolak pisang. Ia hanya mencicipi dua sendok saja. Ia tak ikut berebut kolak pisang itu, Dul lebih memilih menikmati bubur kacang hijau.

“Besok jangan lupa Dul ikut Bapak ke pasar, ini daftar belanja yang harus dibeli,” Ani menyerahkan selembar kertas berisi sederet barang-barang yang harus dibeli di pasar.
“Besok Ibu akan membersihkan kamar Emak, sudah hampir dua bulan belum dibersihkan,” Ani melanjutkan bincang-bincang dengan Andi setelah selesai menikmati menu buka puasa.
Kamar Mbah Putri selalu dikunci seteleh sepekan beliau dimakamkan.  Ani yang menyimpan kunci kamar Mbah Putri. Semua itu karena Hasan menghabiskan hari-harinya mensngis di kamar Emak nya setelah pemakaman. Andi dan Ani mengunci kamar itu dan sesekali membersihkannya. Mereka tidak bisa sering-sering membersihkan kamar itu karena harus mencari cara agar Hasan tak berada di rumah saat kamar itu dibuka. Rian akan diminta mengajak bapaknya jalan-jalan keluar sementara kamar itu dibersihkan.

Semua barang-barang yang mengingatkan Hasan akan Emak dan Suci disimpan rapi dalam kamar itu. Ani akan bergegas mengunci kembali kamar itu ketika terdengar langkah Hasan berlari menuju rumah karena Rian tak mampu mengajak Bapak berlama-lama di luar. Hasan memang tak pernah merasa nyaman berada di luar rumah, sehingga ia akan berlari pulang ketika sudah bosan diajak ke sungai atau ke sawah.

Koneksi Antar Materi 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

  COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK A.       Paradigma Berfikir Coaching 1.        Paradigma berpikir yang pertama adalah fokus pada  co...